MEKKAH – Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf al-Jufri berziarah ke pemakaman umum Ma’la, yang terletak sekitar 10 kilometer pusat kota Mekah. Ziarah tersebut dilakukan setelah rangkaian ibadah umrah telah ditunaikan. Salim Segaf mengatakan bahwa kontribusi para ulama asal Indonesia telah diakui masyarakat dunia, termasuk di Masjid al-Haram dan kota Mekah al-Mukarramah.
“Ulama asal Indonesia tidak hanya dikenal karena kedalaman dan keluasan ilmunya. Tetapi juga karena sikap dan keteladanannya sehari-hari. Sehingga murid-muridnya tersebar di seluruh wilayah Nusantara, bahkan banyak dari negara-negara lain,” ujar Salim Segaf sebagaimana dikutip humas pks jember dari pks.id, senin, 18 april 2022.
Beberapa ulama Indonesia yang dimakamkan di Jannatul Ma’la adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambasi (wafat 1875), Syaikh Nawawi Bantani (1897), Syaikh Junaid Betawi (akhir abad 19 M), Syaikh Abdul Haq Banten (1903), Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau (1916), Syaikh Abdul Hamid Kudus (1916), Syaikh Mahfuzh Tremas (1920), Syaikh Mukhtarudin Bogor (1930), Syaikh Umar Sumbawa (1930-an), dan Syaikh Abdul Qadir Mandailing (1956). Ulama kontemporer yang belum terlalu lama wafat di kota Mekah adalah Syaikh Yasin Padang (1990) dan KH Maimoen Zubair (2019).
Pengakuan masyarakat dunia antara lain dibuktikan dengan penunjukan selaku Imam Masjidil Haram dan Khatib kepada Syekh Nawawi Bantani, Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, dan Syekh Junaid Batawi. “Ketiga tokoh tersebut mewakili wilayah yang berbeda di Nusantara, namun memiliki standar keilmuan dan kesalehan yang istimewa. Khusus kepada sosok Nawawi Bantani, makamnya ditandai semacam nisan tersendiri,” ujar Salim yang juga merupakan cucu dari Gurutua SIS Al-Jufri, pendiri Perguruan Alkhairaat.
Masyarakat sering keliru, nama Syekh Ahmad Khatib ada dua orang. Pertama yang berasal dari Kabupaten Sambas, Kalimantan dikenal sebagai guru tarekat Qadiriyah dan Naqshabandiyah, muridnya tak hanya di Mekah, namun juga di Kalimantan dan Singapura. Sosok kedua, Syekh Ahmad Khatib dari Kabupaten Agam, Sumatera Barat, guru dari para ulama di Sumatera dan Jawa, termasuk KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama).
Para ulama bersatu dalam nasab keilmuan. Mereka juga bersatu komitmen untuk memperjuangkan Indonesia merdeka dari belenggu penjajahan. “Karena itu, semangat keagamaan sangat sejalan dengan semangat kebangsaan. Tidak ada pertentangan antara kedua aspek perjuangan itu. Generasi sekarang harus mewarisi semangat yang sama dari para ulama,” Salim berharap.
Sejumlah warisan penting perlu dijaga dan dikembangkan, misalnya Syekh Nawawi Bantani yang menulis 115 kitab dalam bidang fiqih, tafsir, tauhid dan tasawuf. Syekh Junaid Betawi kecuali menjadi Imam Masjidil Haram, juga menjadi rujukan untuk mazhab Syafi’i. Syekh Yasin Padangi merupakan ahli sanad hadits dengan 700 jalur, sehingga diberi gelar Musnid Dunya, sekaligus pendiri Darul Ulum al-Diniyah Mekah. Sementara itu, KH Maimoen Zubair adalah pimpinan Ponpes Al-Anwar Sarang, Rembang yang menjadi penasehat di PBNU dan PPP. “Sosok kecendekiaan dan kepemimpinan menyatu dalam diri para ulama. Ini yang jarang ditemui saat ini,” simpul Salim Segaf.